Profil Teknobomedik

Rabu, 25 Agustus 2010

Alat bantu melihat tunanetra


Siapa bilang seorang tuna netra tidak dapat melihat lagi?? Dengan kecanggihan teknologi yang berkembang pesat, seorang tuna netra pun dapat melihat lagi, walaupun tidak dapat melihat selayaknya orang normal.

Kopral Michael Jernigan, adalah seorang veteran yang matanya buta setelah kejadian saat dia berpatroli di Irak. Selama lima tahun Jernigan hidup dalam kegelapan. Namun, setelah diperkenalkan oleh sebuah alat yang bernama Brain Port, Jernigan bisa dibilang dapat melihat kembali.

Alat bantu ini bekerja dengan konsep bahwa indra perasa dapat menggantikan indra penglihatan. Sebuah alat segi empat kecil pipih sebesar satu inci itu diletakkan pengguna pada lidahnya. Ketika menggunakan alat ini di dalam mulutnya, pengguna tidak dapat makan ataupun bicara, karena itu, pengguna menyebutnya permen loli. Dalam alat bantu tersebut terdapat sensor yang memungkinkan penggunanya mengidentifikasikan sebuah obyek dan mengetahui bentuknya. Jernigan menjelaskan bahwa yang diproses adalah impuls listrik yang terdapat pada lidahnyadan dia menggunakan bagian otaknya seperti korteks penglihatan, yang selama ini tidak aktif untuk beberapa waktu, untuk memproses informasi tersebut.

Pada BrainPort, kamera yang dijepitkan pada kepala berfungsi sebagai “mata” untuk mengumpulkan informasi visual berupa piksel putih, abu-abu, dan hitam. Sebuah komputer menerjemahkan informasi itu menjadi impuls listrik ringan yang dikirimkan ke serangkaian elektroda yang dipasang pada permukaan lidah pengguna. Getaran keras pada lidah merepresentasikan piksel putih, vibrasi sedang mewakili piksel kelabu, dan piksel hitam sama sekali tak menghasilkan getaran.

Meski BrainPort bukanlah pengganti indra penglihatan, alat bantu itu menambah pengalaman bagi indra lainnya untuk memberi informasi tentang bentuk, ukuran, dan lokasi sebuah obyek kepada penggunanya. Dikatakan bahwa, dalam waktu satu jam sebagian besar pengguna dapat menunjukkan bentuk yang berbeda. Setelah beberapa jam, mereka bisa mengidentifikasi obyek di dekatnya dan menghindari benda-benda yang menghalangi gerak mereka.

Cara kerja BrainPort yang amat sederhana itu telah dibuktikan oleh Erik Weihenmayer, pendaki gunung yang buta sejak usia 13 tahun karena menderita cacat genetik retinoschisis. Ketika pertama kali mencoba alat itu untuk pertama kalinya pada lima tahun lalu, Weihenmayer sanggup meraih dan menangkap bola tenis yang menggelinding hanya dalam beberapa menit.

“Saya terkejut lantaran betapa cepatnya otak menangkap apa yang saya rasakan pada lidah saya,” ujarnya. “Saya merasa bola itu menggelinding dari belakang lidah saya. Mula-mula kecil dan semakin besar.”

Meski hingga saat ini uji coba BrainPort masih dilakukan dalam skala laboratorium, Arnoldussen berharap alat itu bisa segera digunakan oleh penyandang tunanetra dalam kehidupan mereka sehari-hari untuk melakukan tugas harian, seperti membaca tanda lalu lintas dan mengidentifikasi jalan agar tak mudah tersesat.

Brain port telah mengurangi penderitaan para tuna netra. Mereka dapat mengenali bentuk-bentuk yang biasanya ditangkap oleh mata dengan menggunakan lidah mereka. Namun, tentu saja tidak semua tuna netra dapat menikmati kecanggihan alat tersebut, karena harganya yang mahal dan belum dipastikan sudah beredar di pasaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayu bergabung di posting teknobiomedik